Senin, 11 Februari 2013

Hadist tentang menghormati orang tua



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Menghormati Orang Tua
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Hadits tersebut menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang terhadap seorang ibu, harus tiga kali lipat besarnya dibandingkan terhadap seorang ayah. Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kata ibu sebanyak tiga kali, sementara kata ayah hanya satu kali. Bila hal itu sudah kita mengerti, realitas lain bisa menguatkan pengertian tersebut. Karena kesulitan dalammenghadapi masa hamil, kesulitan ketikamelahirkan, dan kesulitan pada saat menyusui dan merawat anak, hanya dialami oleh seorang ibu. Ketiga bentuk kehormatan itu hanya dimiliki oleh seorang ibu, seorang ayah tidak memilikinya. Ada banyak bukti, bahwa berbakti kepada kedua orang tua –dalam wacana Islam- adalah persoalan utama, dalm jejeran hukum-hukum yang terkait dengan berbuat baik terhadap sesama manusia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala sudah cukup menegaskan wacana ‘berbakti’ itu, dalam banyak firman-Nya, demikian juga RasulullahSallallahu ’Alaihi Wa Sallam dalam banyak sabdanya, dengan memberikan ‘bingkai-bingkai’ khusus, agar dapat diperhatikan secara lebih saksama.
Imam An-Nawaawi menjelaskan, “Arti birrul waalidain yaitu berbuat baik terhadap kedua orang tua, bersikap baik kepada keduanya, melakukan berbagai hal yang dapat membuat mereka bergembira, serta berbuat baik kepada teman-teman mereka.” Al-Imam Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa birrul waalidain atau bakti kepada orang tua, hanya dapat direalisasikan dengan memenuhi tiga bentuk kewajiban: Pertama: Menaati segala perintah orang tua, kecuali dalam maksiat. Kedua: Menjaga amanah harta yang dititipkan orang tua, atau diberikan oleh orang tua. Ketiga: Membantu atau menolong orang tua, bila mereka membutuhkan.
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
(24) “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (QS. Al-Isra: 23-24).
Ini adalah perintah untuk mengesakan Sesembahan, setelah sebelumnya disampaikan larangan syirik. Ini adalah perintah yang diungkapkan dengan kata qadha yang artinya menakdirkan. Jadi, ini adalah perintah pasti, sepasti qadha Allah. Kata qadha memberi kesan penegasan terhadap perintah, selain makna pembatasan yang ditunjukkan oleh kalimat larangan yang disusul dengan pengecualian: “Supaya kamu jangan menyembah selain Dia…” Gaya bahasa yang digunakan al-Quran dalam memerintahkan sikap bakti kepada orang tua ialah datang serangkai dengan perintah tauhid atau ke-imanan, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia“ . Dalam artian setelah manusia telah mengikrakan ke-imanannya kepada Allah, maka manusia memiliki tanggungjawab kedua, yaitu “Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”. Jika kita bertanya, mengapa perintah birrul walidain begitu urgen sehingga ia datang setelah proses penghambaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala?? Al-Quran Kembali menjawab

 حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا
“Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”(Al-Ahqaf: 15).
Ketika orangtua berumur muda, kekuatan fisik masih mengiringinya, sehingga ia bertanggungjawab untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Namuun saat mereka berumur tua renta, dan anaknya sudah tumbuh dewasa berbaliklah roda tanggung jawab itu. Para pembantu mungkin mampu merawatnya, menunjukkan sesuatu yang tidak lagi bisa dilihatnya, mengambilkan sesuatu yang tidak lagi bisa diambilnya dan mengiringnya dari suatu temnpat ke tempat lain. Namun ada satu hal yang tidak pernah bisa diberikan oleh pembantu, ialah cinta dan kasih sayang. Hanya dari sang buah hatilah rasa cinta dan kasih sayang dapat diraihnya. Kedua orang tua secara fitrah akan terdorong untuk mengayomi anak-anaknya; mengorbankan segala hal, termasuk diri sendiri. Seperti halnya tunas hijau menghisap setiap nutrisi dalam benih hingga hancur luluh; seperti anak burung yang menghisap setiap nutrisi yang ada dalam telor hingga tinggal cangkangnya, demikian pula anak-anak menghisap seluruh potensi, kesehatan, tenaga dan perhatian dari kedua orang tua, hingga ia menjadi orang tua yang lemah jika memang diberi usia yang panjang. Meski demikian, keduanya tetap merasa bahagia! Adapun anak-anak, secepatnya mereka melupakan ini semua, dan terdorong oleh peran mereka ke arah depan. Kepada istri dan keluarga. Demikianlah kehidupan itu terdorong. Dari sini, orang tua tidak butuh nasihat untuk berbuat baik kepada anak-anak. Yang perlu digugah emosinya dengan kuat adalah anak-anak, agar mereka mengingat kewajiban terhadap generasi yang telah menghabiskan seluruh madunya hingga kering kerontang. Al-Quran memberikan pengkhususan dalam birrul walidain ini saat kondisi mereka tua renta, yaitu:
1.      Jangan mengatakan kata uffin (ah)
2.      Jangan membentak
3.      Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
4.      Rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan penuh kesayangan
5.      Dan do’akanlah mereka. Kata uffin dalam bahsa Arab berati ar-rafdu (menolak).
Jadi janganlah kita mengatakan kata-kata yang mengandung makna menolak, terkhusus dalam memenuhi kebutuhan mereka. Karena pada umur lanjut inilah kebutuhan mereka memuncak, hampir pada setiap hitungan jam mereka membutuhkan kehadiran kita disisinya. Sedimikian pentingnya perintah birrul walidain ini, sehingga keridhoan mereka dapat menghantarkan sang anak kedalam surga-Nya. Rasulullah saw bersabda “Barang siapa yang menajalani pagi harinya dalam keridhoan orang tuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju syurga. Barang siapa yang menjalani sore keridhoan orang tuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju syurga. Dan barang siapa menjalani pagi harinya dalam kemurkaan orangtuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju neraka. Dan barang siapa menjalani sore harinya dalam kemurkaan orangtuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju neraka ”.(HR. Darul Qutni dan Baihaqi) Dengan demikian merugilah para anak yang hidup bersama orang tuanya di saat tua renta namun ia tidak bisa meraih surga, karena tidak bisa berbakti kepada keduanya. Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam mengatakan tentang ihwal mereka :
عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ ا لْجَنَّةَ ».


“Dari Suhaili, dari ayahnya dan dari Abu Hurairah. Rosulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda : ”Merugilah ia (sampai 3 kali). Para Shahabat bertanya : ”siapa ya Rosulullah?Rosulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda :“Merugilah seseorang yang hidup bersama kedua orang tuanya atau salah satunya di saat mereka tua renta, namun ia tidak masuk surga” (HR. Muslim).
Terkait cara berbakti kepada orang tua, memulai dengan perkataan yang baik. Kemudian diiringi denganmeringankan apa-apa yang menjadi bebannya. Dan bakti yang tertinggi yang tak pernah dibatasi oleh tempat dan waktu ialah DOA. Do’a adalah bentuk bakti anak kepada orang tua seumur hidup-nya. Do’alah satu-satunya cara yang diajarkan Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallambagi anak-anak yang pernah menyakiti orangtuanya namun mereka meninggal sebelum ia memohon maaf kepadanya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallambersabda : “Bahwasanya akan ada seorang hamba pada hari kiamat nanti yang diangkat derajatnya, kemudian ia berkata “Wahai tuhanku dari mana aku mendapatkan (derajat yang tinggi) ini??. Maka dikatakanlah kepadanya “Ini adalah dari istighfar (doa ampunan) anakamu untukmu” (HR.Baihaqi) Adapun doa yang diajarkan, ialah sebagaimana termaktub dalam al-Quran :
وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرً
"Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (Al-Isra’: 24).
Itulah ingatan yang sarat kasih sayang. Ingatan akan masa kecil yang lemah, dipelihara oleh kedua orang tua. Dan keduanya hari ini sama seperti kita di masa kanak-kanak; lemah dan membutuhkan penjagaan dan kasih sayang. Itulah tawajuh kepada Allah agar Dia merahmati keduanya, karena rahmat Allah itu lebih luas dan penjagaan Allah lebih menyeluruh. Allah Subhanahu Wata’ala lebih mampu untuk membalas keduanya atas darah dan hati yang mereka korbankan. Sesuat yang tidak bisa dibalas oleh anak-anak. Al Hafizh Abu Bakar Al Bazzar meriwayatkan dengan sanadnya dari Buraidah dari ayahnya: “Seorang laki-laki sedang thawaf sambil menggendong ibunya. Ia membawa ibunya thawaf. Lalu ia bertanya kepada NabiSallallahu ’Alaihi Wa Sallam, “Apakah aku telah menunaikan haknya?” Nabi Sallallahu ’Alaihi Wa Sallammenjawab, “Tidak, meskipun untuk satu tarikan nafas kesakitan saat melahirkan.” Dalam ayat lain Al-Quran mengajar doa yang begitu indah, ialah doa yang mencakup bagi kita, orang tua dan keturunan kita :
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Ya Allah.., tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (Al-Ahqaf : 15).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Qs. Al-Ahqaaf : 15)
Ayat diatas menjelaskan akan hak ibu terhadap anaknya. Ketahuilah, bahwasanya ukuran terendah mengandung sampai melahirkan adalah 6 bulan (pada umumnya adalah 9 bulan 10 hari), ditambah 2 tahun menyusui anak, jadi 30 bulan. Sehingga tidak bertentangan dengan surat Luqman ayat 14 (Lihat Tafsiir ibni Katsir VII/280)
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman : 14)
Dalam ayat ini disebutkan bahwa ibu mengalami tiga macam kepayahan, yang pertama adalah hamil, kemudian melahirkan dan selanjutnya menyusui. Karena itu kebaikan kepada ibu tiga kali lebih besar daripada kepada ayah.
2.      Dosa-dosa Besar
Diriwayatkan dari Rasulullah Saw, bahwa beliau bersabdah:
 اَعْظَمُ الذُّ نُوْبِ عِنُدَ اللهِ تَعَا لَي اَصْغَرُ هَاعِنْدَ النَّا سِ وَاَصْغَرُالذُّ نُوْبِ عِنْدَاللهِ تَعَا لَي اَعْظَمُهَا عِنْدَ النَّا سِ .
“dosa yang paling besar di sisi Allah Ta’ala adalah dosa yang (dianggap) kecil oleh manusia. Sedangkan dosa yang paling kecil di sisi Allah Ta’ala adalah dosa yang (dianggap) paling besar oleh manusia.”
            Al-Faqih menjelaskan, bahwa apabila seseorang yang melakukan perbuatan dosa itu menganggap dosa yang dilakukannya itu sangat besar, maka ia pun merasa takut dan segera bertaubat, sehingga dosa itu pun diampuni dan dianggap kecil oleh Allah. Adapun jika dosa itu dianggap kecil oleh yang melakukannya, sehingga ia terus menerus mengulanginya, maka dosa itu menjadi besar di sisi Allah. Hal inni di dasarkan perkataan sahabat sebagai berikut:
لَاصَغِيْرَةَ مَعَ اْلإِصْرَارِوَلَا كَبِيْرَةَ مَعَ اْلإِ سْتِغْفَارِ.
“tidak dianggap dosa kecil jika dilakukan terus menerus dan tidak dianggap dosa besar jika mohon ampun.”
            Diriwaytkan dari Awwam bin Hausyab, ia berkata, “ada empat hal yang dilakukan setelah perbuatan dosa yang lebih jelek dari perbuatan dosa itu sendiri, yaitu: menganggap kecil (meremehkan), merasa tidak apa-apa, merasa senang, dan terus-menerus melakukan dosa itu.”
            Al-Faqih mengingatkan, agar jangan sampai salah memahami ayat:
مَنْ جَاءَ بِا لْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُاَمْثَا لِهَا وَمَنْ جَاءَ بِا لسَّيِّءَةِ فَلَا يُجْزَي اِلاَّ مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمَوْنَ.
“barang siapa yang membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya, dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, seddang mereka sedikitpun tidak dianiaya/dirugikan.” (QS.Al-An’am:160)
Sebab, ada beberapa persyaratan bagi amal yang baik agarbisa dibawa nanti pada hari kiamat. Mengerjakan amal baik itu mudah bagi orang yang memang mau mengerjakannya, namun yang sukar adalah bagaimana agar amal baik itu bisa dibawa nanti pada hari kiamat. Sedangkan perbuatan jahat, walaupun hanya dibalas seimbang, namun ia mempunyai 10 dampak negatif, yaitu:
a.       Apabila seseorang melakukan perbuatan jahat, berarti ia membuat murka Dzat yang menciptakannya, padahal dia berkuasa pada dirinya setiap saat.
b.      Dengan perbuatan jahat itu, ia telah membuat senang iblis yang merupakan musuh Allah dan musuh dirinya.
c.       Menjauhkan diri dari tempat yang paling baik, yaitu surga
d.      Mendekatkan diri pada tempat yang paling jelek, takni dirinya sendiri
e.       Mengotori dirinya sendiri
f.       Mengganggu malaikat yang tidak pernah mengganggunya, yakni para malaikat yang menjga dirinya
g.      Membuat Nabi Saw. Merasa sedih di dalam kuburnya
h.      Memprsaksikan kepada siang dan malam atas kejahatan dirinya serta siang dan malam itu terganggu dan merasa sadih kerenanya
i.        Menghianati semua makhluk, baik manusia maupun yang lainya.
Penghianatan kepada sesama manusia itu jika seseorang memerlukan kesaksiannya, maka kesaksiannya tidak dapat diterima, mengingat dosa yang pernah dilakukannya. Dengan demikian, perbuatan dosa itu meniadakan hak temannya. Sedangkan penghianatan kepada sesama makhluk selain manusia, karena perbuatan dosanya itu dapat menyebabkan berkurangnya hujan.

Sabtu, 09 Februari 2013

Sosio Linguistik



MATERI


A. Pengertian Kelas Sosial
Kelas sosial didefinisikan sebagai suatu strata (lapisan) orang-orang yang berkedudukan sama dalam kontinum (rangkaian kesatuan) status sosial. Definisi ini memberitahukan bahwa dalam masyarakat terdapat orang-orang yang secara sendidi-sendidi atau bersama-sama memiliki kedudukan sosial yang kurang lebih sama. Mereka yang memiliki kedudukan kurang lebih sama akan berada pada suatu lapisan yang kurang lebih sama pula.
Kelas sosial didefinisikan sebagai pembagian anggota masyarakat ke dalam suatu hierarki status kelas yang berbeda sehingga para anggota setiap kelas secara relatif mempunyai status yang sama, dan para anggota kelas lainnya mempunyai status yang lebih tinggi atau lebih rendah. Kategori kelas sosial biasanya disusun dalam hierarki, yang berkisar dari status yang rendah sampai yang tinggi. Dengan demikian, para anggota kelas sosial tertentu merasa para anggota kelas sosial lainnya mempunyai status yang lebih tinggi maupun lebih rendah dari pada mereka.

B. Hubungan Bahasa Dengan Konteks Sosial

Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Untuk keperluan tersebut, manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya berbagai bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang menyebabkannya berbeda dengan bahasa lainnya.
Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill bahwa “Sosiolinguistik adalah bahagian linguistik yang berhubung kait dengan bahasa, fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena masyarakat dan berhubung kait dengan bidang sain sosial seperti Antropologi seperti sistem kerabat (Antropologi) bisa juga melibatkan geografi dan sosiologi serta psychologi sosial”.
Manakala, Fishman menyatakan bahwa Sosiolinguistik memiliki komponen utama yaitu ciri-ciri bahasa dan fungsi bahasa. Fungsi bahasa dimaksud adalah fungsi sosial (regulatory) yaitu untuk membentuk arahan dan fungsi interpersonal yaitu menjaga hubungan baik serta fungsi imajinatif yaitu untuk meneroka alam fantasi serta fungsi emosi seperti untuk mengungkapkan suasana hati seperti marah, sedih, gembira dan apresiasi.
Perkembangan bahasa yang selari dengan perkembangan kehidupan manusia di abad modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah antara lain dengan penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan tertentu yang dikenal dengan variasi bahasa seperti jargon dan argot. Manusia tanpa komunikasi akan menjadi hampa. Bagaimana manusia berkomunikasi dan bersosialisasi satu sama lain jika tidak ada bahasa. Bahasa itu dinamis, maksudnya bahasa juga ikut berubah seiring dengan perubahan waktu.
  • Banjamin Lee Worf mengemukakan, bahwa manusia terkungkung oleh bahasa. Bahasa mempengaruhi pandangan hidup mereka. Mereka tidak dapat berpikir kecuali dalam bahasanya.
  • Sebenarnya pandangan ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari pendapat guru Whorf, yakni Edward Sapir.
  • Sapir berpendapat bahwa masyarakat yang berbeda bahasanya boleh dikatakan hidup dalam dunia realitas yang berbeda, dalam arti bahwa bahasa mempengaruhi caraberpikir masyarakat.
  • Dengan kata lain, bahasa mempengaruhi cara bagaimana masyarakat melihat dunia sekelilingnya. Pandanganmereka kemudian terkenal dengan nama Hipotesis Sapir-Whorf.
  • Hipotesis Sapir-Whorf mengatakan bahwa bahasa milik suatu bangsa menentukan pandangannya terhadap dunia dan lingkungan sekitarnya.

Namun pada kenyataannya, yang dapat diterima adalah sebaliknya, yaitu masyarakatlah yang mempengaruhi bahasa. Karena:
·         Banyak contoh yang menunjukkan bahwa lingkungan dalam suatu masyarakat dicerminkan dalam bahasanya, terutama dalam leksikonnya.
·         Penilaian yang diberikan masyarakat pada suatuhal dapat mempengaruhi bahasa. Hal ini dapat terlihat pada gejala bahasa yang tabu untuk dibicarakan

1. Keterkaitan bahasa dengan kelas sosial
Kelas Sosial adalah perbedaan hierarkis (stratifikasi) antara insan atau kelompok manusia dalammasyarakat atau budaya (wikipedia). Menurut Barger: kelas sosial adalah stratifikasi sosial menurut ekonomi.
Kelas sosial (sosial class) mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Sebagai contoh:
  • Misalnya si A adalah seorang bapak di keluarganya, yang juga berstatus sosial sebagai guru. Jika dia guru di sekolah negeri, dia juga masuk ke dalam kelas pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan “terdidik”.
  • Dan jika pula si A adalah seorang guru yang suaminya seorang pejabat. Jika dia seorang guru PNS, dia masuk ke dalam kelas pegawai negeri dan juga masuk ke dalam kelas istri pejabat. Ketika dia berkomunikasi dengan sesama PNS, bahasa yang digunakannya akan berbeda ketika dia berkomunikasi dengan teman-temannya sesama istri pejabat.

a. Ragam bahasa kelas sosial
            Khususnya Indonesia kelas sosial sekelompok pejabat yang mempunyai kedudukan tinggi. Tetapi ragam bahasanya justru nonbaku. Salah satunya Ragam bahasa mereka dapat dikenali dari segi lafal mereka. Contoh: akhiran –kan yang dilafalkan –ken.
Jadi perbedaan atau penggolongan kelompok masyarakat manusia tercermin dalam ragam bahasa golongan masyarakat itu.

b. Kelas sosial dan ragam baku
Ada kaidah yang baku dalam bahasa Inggris. Jika subjek adalah kata ganti orang ke tiga tunggal (she, he, it), predikat kata kerjanya harus menggunakan sifiks-s. kemudian diadakan penelitian apakah ada hubungan antara kelompok sosial dengan gejala bahasa ini. Penelitian diadakan di dua tempat, yaitu di Detroit (AS) dan di Norwich (Inggris). Informannya meliputi berbagai tingkat kelas sosial, yaitu:
Ø  Kelas Menengah Tinggi (KMT)
Ø  Kelas Menengah Atas (KMA)
Ø  Kelas pekerja (buruh) menengah (KPM)
Ø  Kelas pekerja bawah (KPB)

c. Peranan Labov
Tahun 1966, William Labov menerbitkan hasil penelitiannya yang luas tentang tutur kota New York, berjudul The Social Stratification of English in New York City (lapisan sosial Bahasa Inggris di Kota New York). Ia mengadakan wawancara yang direkam, tidak dengan sejumlah kecil informan, hanya terdiri dari 340 orang. Dengan ini Lobov memasukkan metode sosiologi ke dalam penelitiannya. Sosiologi menggunakan metode pengukuran kuantitatif dengan jumlah besar, dan dengan metode sampling.
Labov, dalam penelitiannya membuktikan bahwa seseorang individu dari kelas sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bentuk tertentu sekian kali dalam suatu situasi tertentu. Selanjutnya Bernstein mengemukakan anggapan dasar tentang dua ragam bahasa penutur yang disebut kode terurai/elaborated code (cenderung digunakan dalam situasi formal) dan kode terbatas/restricted code (cenderung digunakan dalam situasi informal). Karena pada proses pendidikan kode terurai lebih sering digunakan, penutur yang terbiasa menggunakan kode terbatas (contohnya kelas buruh) akan mengalami kesulitan dan berpengaruh pada daya kognisi (atau hasil belajar).
Ketika Sapir-Whorf menyatakan “pandangan manusia tentang lingkungannya dapat ditentukan oleh bahasanya”, pendapat ini mendapat beberapa bukti sanggahan yaitu: lingkungan fisik tempat suatu masyarakat hidup dapat dicerminkan dalam bahasanya; lingkungan sosial dapat juga dicerminkan dalam bahasa dan sering dapat berpengaruh pada struktur kosakata; adanya lapisan-lapisan masyarakat feodal dan kasta yang menimbulkan pengaruh dalam bahasa; di samping lingkungan dan struktur sosial, nilai-nilai masyarakat dapat pula berpengaruh pada bahasa masyarakat itu.

Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat kelas menengah-ke bawah yang terdiri dari berbagai kalangan, antara lain pedagang, pekerja, buruh, pegawai kelas rendahan. Dalam masyarakat juga sering ditemukan pembedaan terhadap kaum terdidik (orang-orang yang menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi) dan tidak terdidik (umumnya hanya mengenyam pendidikan hingga jenjang pendidikan SD—SMP) yang menjadi mayoritas masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari mereka menggunakan ragam umum dalam percakapan sehari-hari. Seperti yang kita ketahui bahwa biasanya kosa kata dalam ragam umum sangat sedikit mengandung ragam baku. Dalam buku ini disebutkan bahwa semakin rendah kelas sosialnya, semakin banyak pemakaian bentuk nonbaku.
Gejala lain yang timbul adalah bahasa Jawa mengenal tiga tingkat berbahasa yang penggunaannya berdasarkan pada siapa lawan bicara kita. Tingkatan berbahasa tersebut tidak membedakan kela sosial penggunanya. Meskipun demikian, dalam masyarakat Jawa sering dikenal pembagian golongan menjadi priyayi hingga kaum rendahan (dilihat dari sisi kedudukannya dalam masyarakat), selain itu dikenal pula kaum abangan dan kaum santri (dilihat dari sisi keagamaan), tiap golongan memiliki kosa kata khusus yang jarang digunakan oleh golongan lain dan tidak dapat dipungkiri bahwa kata-kata tertentu bisa menggambarkan sistem kepercayaan dan sistem nilai tata krama penuturnya.

2. Keterkaitan Bahasa dengan Komunikasi
Bahasa dengan komunikasai sangat berhubungan. Dalam setiap komunikasi bahasa ada dua pihak yang terlibat, yaitu pengirim pesan (sender) dan penerima pesan (receiver). Ujaran (berupa kalimat atau kalimat-kalimat) yang digunakan untuk menyampaikan pesan (berupa gagasan, pikiran, saran, dan sebagainya) itu disebut pesan. Dalam ini pesan tidak lain penbawa gagasan (pikiran, saran, dan sebagainya) yang disampaikan pengirim (penutur) kepada penerima (pendengar). Setiap proses komunikasi bahasa dimulai dengan si pengirim merimuskan terlebih dahulu yang ingin diujarkan dalam suatu kerangka gagasan. Proses ini dikenal sebagai istilah semantic encoding.
Ada dua macam komunikasi bahasa, yaitu komunikasi searah dan komunikasi dua arah. Dalam komunikasi searah, si pengirim tetap sebagai pengirim, dan si penerima tetap sebagai penerima. Misalnya, dealam komunikasi yang bersifat memberitahukan, khotbah di mesjid atau gereja, ceramah yang tidak diikuti Tanya jawab. Dalam komunikasi dua arah, secara berganti-ganti si pengirim bisa menjadi penerima, dan penerima menjadi pangirim. Komunikasi dua arah ini terjadi dalam rapat, perundingan, diskusi dan sebagainya.
ss
Sebagai alat komunikasi, bahasa itu terdiri dari dua aspek yaitu:
Ø  Aspek linguistik
Ø  Aspek nonlinguistik atau paralinguistik
Kedua aspek itu bekerjasama dalam membangun komunikasi bahasa. Aspek linguistik mencakup tataran fonologis, morfologis, dan sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya yang akan disampaikan, yaitu semantik (yang di dalamnya terdapat makna, gagasan, idea tau konsep). Aspek paralinguistik mencakup:
Ø  Kualitas ujaran, yaitu pola ujaran seseorang seperti falsetto (suara tinggi), staccato (suara terputus-putus), dan sebagainya.
Ø  Unsur supra segmental, yaitu tekanan (stress), nada (pitch), dan intonasi.
Ø  Jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan,anggukan kepala, dan sebagainya.
Ø  Rabaan, yakni yang berkenaan dengan indera perasa (pada kulit).

Aspek linguistik dan paralinguistik berfungsi sebagai alat komunikasi, bersama-sama dengan konteks situasi membentuk atau membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi.

3. Pengaruh bahasa dalam Ragam kelas Sosial
Perkembangan bahasa yang searah dengan perkembangan kehidupan manusia di abad modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah antara lain dengan penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan tertentu yang dikenal dengan variasi bahasa seperti jargon dan argot.

Jargon
Dalam “Thesaurus: Oxford Thesaurus of English” oleh Maurice Waite (2004) dinyatakan bahwa jargon adalah bahasa khas, teknis, idiom tertentu, selanga dan lain sebagainya yaitu “specialized language, technical language, slang, cant, idiom, argot, patter, patois, vernacular, computerese, legalese, bureaucratese, journalese, psychobabble, unintelligible language, obscure language, gobbledegook, gibberish, double Dutch”.
Menurut “The Oxford Companion to the English Language” oleh Tom McArthur (1996) istilah jargon ini muncul pada abad ke-14 yang merupakan istilah Bahasa Inggris Abad Pertengahan (Midle English) yaitu ”iargo(u)n”, “gargoun”, “girgoun” yang berarti kicauan, nyanyian burung-burung, pembicaraan yang tidak bermakna, merepet /membual ata mericau.
Jargon ini juga terdapat dalam istilah Bahasa Perancis yaitu “jargoun”, “gargon” dan “gergon”. Kemungkinan makna asalnya yaitu bunyi “echo” dan merupakan istilah umum yang seringkali mengacu kepada bahasa asing pedalaman yang bermacam-macam. Hal itu dapat ditemukan dalam ucapan yang dirasakan sebagai merepet atau ucapan-ucapan kosong (mumbo jumbo), slang, bahasa pidgin atau bahasa khas dalam perdagangan, profesi atau kelompok lainnya.
Namun demikian, istilah ini juga sering dihubungkaitkan dengan ilmu tertentu seperti hukum dan perundang-undangan, kedokteran dan ilmu pengetahuan yang merupakan jargon teknis maupun jargon saintifik.
Bagi kelompok yang tidak professional maupun tidak berprofesi, penggunaan bahasanya dinilai penuh dengan istilah maupun kalimat yang tidak seperti bahasa umumnya sehingga sulit dipahami oleh orang kebanyakan. Namun bagi anggota kelompok professional tersebut, penggunaan istilah itu sangat akrab dan mencapai matlamat yang sesungguhnya. Karena faktor kemudahan dan keakrabannya inilah, jargon dapat menggungkapkan teknis dan gaya yang menjadi ciri khas dalam kelompok tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

 Mata Kuliah Sosiolinguistik, Universitas Pendidikan Indonesia Alwasiah, A Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung:Angkasa

Badudu, J.S.1989. Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar. Jakarta: PT. Gramedia  Pateda, Mansyur.1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa

Chaer, Abdul. 1980. Sosiolinguistik :Perkenalan Awal, Jakarta: Rineka Cipta

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Balai Pustaka.

Sumarsono & Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta